Monthly Archives: Juni 2008

Memilih Untuk Tidak Memilih

Mbok iyao gunakanlah hak pilihmu, jadilah warga negara yang baik.Pilihanmu menentukan Jawa Tengah lima tahun ke depan lo

Kutipan di atas merupakan perkataan dari ibuku beberapa hari yang lalu saat aku mudik ke kampung halaman di sebuah kota kecil tak jauh dari Gunung Merapi yang ada di perbatasan Jateng-Jogja. Obrolan hangat antara aku dan keluargaku malam itu memang tidak jauh-jauh dari Pilkada Jawa Tengah yang bakal digelar 22 Juni mendatang. Pilkada memang menjadi topik utama masyarakat Jateng akhir-akhir ini karena konon kabarnya sangat bersejarah bagi warga Jateng karena untuk pertama kali dalam sejarah berdirinya provinsi ini, masyarakat Jateng bakal memiliki kesempatan memilih gubernur dan wakilnya secara langsung.

Ibuku menanyakan apakah aku akan ikut coblosan 22 Juni besok dan dengan enteng saja aku jawab tidak. Dan, ibuku pun menjawabnya seperti kutipan di atas. Jawaban ibuku itu, aku balas senyuman saja. Aku tidak ingin memperdebatkan perkataan orangtuaku mengenai warga negara yang baik sama artinya warga yang menggunakan hak pilihnya saat ada Pemilu, entah itu Pemilu legislatif, Pilpres atau Pilkada.

Aku tidak ingin mempersoalkan, padangan orang-orang atau kelompok yang menilai warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah warga negara yang tidak baik karena tidak menggunakan haknya. Aku hanya menilai jika pemikiran bahwa warga negara yang menggunakan hak pilihnya sama artinya dengan warga negara yang baik adalah mitos yang sengaja diciptakan Orde Baru dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara.

Pilihanku untuk tidak memilih dalam Pilkada mendatang, aku dasari pada kenyataan bahwa aku tidak lagi memiliki kepercayaan pada mereka lima pasangan calon gubernur dan wakilnya yang maju dalam Pilkada. Aku tidak lagi memiliki dasar untuk memilih salah satu pasangan dan artinya mengesampingkan empat pasangan lainnya. Aku tidak memiliki alasan mengapa aku harus memilih salah satu pasangan entah itu Bambang-Adnan, Agus-Kholiq, Sukawi-Sudharto, Bibit-Rustri atau Tamzil-Rozaq.

Benar-benar aku tidak memiliki alasan untuk memilih salah satu dari mereka. Jadi apakah aku harus memaksakan diri agar memiliki alasan untuk memilih mereka. Bukanlah pilihan politik juga harus didasari juga atas alasan pemilihan itu sendiri? Memang aku pernah melihat dan mendengarkan visi dan misi lima calon itu dalam siaran TV, namun apa yang aku tangkap visi dan misi itu hanya janji-janji yang entah dalam kenyataan bisa direalisasikan atau tidak.

Aku telah memantapkan hati untuk tidak memilih dalam Pilkada kali ini seperti apa yang pernah aku lakukan dalam Pilpres 2004 lalu. Dan jangan disalahartikan jika aku mengajak untuk tidak memilih alias Golput. Jika memang warga Jateng yang memiliki hak pilih memiliki alasan untuk memilih salah satu calonnya, maka bersuka citalah untuk menyambut hari bahagia 22 Juni dengan mendatangi TPS terdekat, karena memilih adalah hak dan tidak memilih juga bagian dari hak yang sama-sama tidak bisa dipaksakan. Kadang sedih rasanya jika melihat ada orang yang ingin memilih tapi akhirnya tidak bisa memilih dan akhirnya dianggap Golput karena tidak terdaftar atau kurangnya logistik Pilkada atau alasan teknis lainnya. Aku pikir Golput yang baik adalah mereka Golput karena benar-benar memiliki alasan untuk tidak memilih atau kalau boleh aku istilahkan Golput berkesadaran.

Jangan salahkan pula jika akhir-akhir ini angka Golput dibeberapa Pilkada trennya mengalami kenaikan. Bukan karena aku mengkampanyekan Golput, sama sekali bukan karena aku tidak memiliki kekuatan sehebat itu hingga aku bisa membujuk rayu jutaan orang untuk Golput. Aku pikir, naiknya angka Golput lebih pada semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap politik dan segala prosesnya. Masyarakat mungkin berpikir singkat, siapapun yang terpilih, toh hidup masih susah. Masyarakat sudah semakin muak dengan politik dan segala perilaku politikus yang memang sangat memuakkan.

Jika para politikus menyoroti banyaknya angka Golput, bukankah mereka para politikus harus berkaca pada perilaku mereka selama ini, apakah mereka benar-benar sudah mengobarkan perjuangan untuk rakyat atau malah hanya berpikir untuk diri sendiri dan kelompoknya. Kalau ternyata mereka belum juga memperjuangkan kepentingan rakyat, janganlah skpetis terhadap Golput dan menyalahkan orang yang memilih untuk tidak memilih. Alangkah baiknya mereka memperbaiki perilakunya sendiri untuk kembali merebut hati masyarakat.

Dan kalaupun pada akhirnya mereka para politikus tetap skeptis terhadap Golput dan tidak mau merubah perilakunya, aku pikir politik dan politikus memang teramat sangat memuakkan.


Balada UN & Pilkada Jateng

Siapakah sebenarnya yang layak disebut dengan Raja Jalanan? Apakah mereka, para siswa SMA yang tetap turun ke jalan merayakan kelulusan meski masa depan tak seindah harapan. Atau mereka para simpatisan Cagub yang rela arak-arakan di jalanan meski kenyataan hidup tak semanis janji-janji kampanye.

Ini adalah sebagian pesan singkat yang aku terima dari Kasatlantas Poltabes Solo, Sabtu sore, “Hasil penindakan pelaggaran lalu lintas terkait aksi trek-trekan dan konvoi yang dilakukan anak SMU berhasil menindak pelanggaran Lantas sebanyak 128 pelanggaran dan 31 kendaraan bermotor disita sebagai barang bukti.”

Satu hari berselang, aku kembali mendapatkan pesan singkat dari Kasatlantas Poltabes Solo yang isinya kurang lebih seperti ini, “Tetap ditindak untuk pelanggaran Lantas yang berpotensi Laka. Ada beberapa yang sudah kami tindak dan disita sebanyak tiga kendaraan.”

Dua hari terakhir aku merasakan munculnya raja jalanan baru di Solo. Mereka menguasai jalan-jalan protokol dan menjadikan jalanan di Kota Bengawan yang sudah sempit menjadi semakin sempit saja. Kalau mereka para raja jalanan itu akhirnya mendapat tidakan tegas dari aparat kepolisian, bukankah itu kewajaran dari sebuah perbuatan yang memang harus dipertanggungjawabkan oleh mereka yang memilih menjadi raja jalaan?

Sabtu lalu, siswa SMA yang dinyatakan lulus oleh suatu sistem pendidikan yang amburadul, merayakan kelulusan dengan turun ke jalan. Aksi corat-coret baju sudah hampir menjadi tradisi yang tidak dapat ditinggalkan. Knalpot sepeda motor yang standar diganti dengan knalpot entah bikinan mana dan siapa, asal bisa memekakkan telinga. Euforia kebahagiaan tumpah seketika di jalanan. Aku tidak ingin menyalahkan mereka yang memilih turun ke jalan daripada menagis bahagia dan bersimpuh di atas kaki kedua orang tua sebagai ekspresi rasa bahagia. Aku juga sadar mereka yang turun kejalan belum tentu hasil ujiannya lebih baik dari mereka yang bimbang di rumah menunggu hasil pengumuman ujian sambil memikirkan masa depan.

Apapun itu yang dilakukan oleh mereka para siswa yang bahagia dinyatakan lulus ujian, entah itu corat-coret baju, turun ke jalanan sambil konvoi, menangis bahagia, memeluk kedua orang tua, sujud rasa syukur, itu adalah ekspresi ungkapan kebahagiaan. Soal itu baik atau buruk, benar atau salah, tinggal dari mana kita melihatnya. Bukankah kita juga pernah jadi anak muda seperti mereka?

Mereka memang harus bahagia, paling tidak satu hari saja karena hari-hari berikutnya, indahnya kelulusan tinggal kenangan. Mereka harus kembali menghadapi kehidupan dan masa depan belum tentu sesuai harapan. Mereka harus kembali merajut cita-cita yang mungkin sudah ada dalam angan-angan. Mereka para anak muda akan segera memasuki kehidupan senyata-nyatanya kehidupan yang mungkin tidak seindah perayaan kelulusan.

***

Satu hari berselang, giliran simpatisan salah satu Cagub Jateng menguasai jalanan di Solo. Ini agak berbeda dengan hari sebelumnya, kali ini massanya lebih banyak dan lebih “liar”. Mungkin mereka senyata-nyatanya raja jalanan.

Dengan membawa berbagai atribut mulai dari bendera salah satu Parpol besar di Indonesia hingga bendera Ormas, para simpatisan itu benar-benar menguasai jalanan dalam arti yang sebenar-benarnya dan para pengguna jalan lainnya dipaksa bersabar demi memberi jalan mereka pada raja jalanan. Tak lupa pula mereka mengenakan kaos bergambar Cagub yang mereka dukung. Dan yang hampir pasti mereka melakukan arak-arakan dan berkonvoi diiringi sebuah melodi kebisingan, raungan knalpot sepeda motor yang saling bersahutan.

Aku tidak ingin menyalahkan mereka para simpatisan Cagub itu. Aku tidak ingin menghukum mereka dengan istilah “orang kampungan dan tak tahu aturan”. Yang ingin aku katakan adalah mereka bisa menjadi tontonan pengguna jalan lainnya meskipun dalam hati pengguna jalan lainnya merasakan dongkol setengah mati terhadap kelakukan mereka. Aku juga ingin berkata, bisa jadi kelakukan mereka di jalanan yang seperti raja jalanan itu sebuah cermin dalam kehidupan politik negara ini. Mereka asik menguasai jalanan saat ada kesenpatan, seperti para pemimpin bangsa yang asik mengorupsi uang rakyat saat ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi sifat manusia, meraih apa yang diinginkan dan dimpikan saat ada kesempatan?

Setelah kampanye Pilkada usai, maka usai pula mereka jadi raja jalanan. Kehidupan mungkin akan kembali normal seperti sedia kala. Mereka harus kembali pada rutinitas dan kehidupan yang belum belum tentu semanis janji-janji politik para calon gubernur yang mereka dukung. Mereka harus kembali memutar otak untuk kencukupi kebutuhan sehari-hari dan mungkin akhirnya lupa pada kerasnya raungan knalpot saat kampanye Pilkada seperti para gubernur terpilih yang mungkin juga lupa akan muluk-muluknya janji-janji mereka.


Film Hollywood Ala Indonesia

Kalau film murahan ala Hollywood hanya bisa menampilkan adegan kekerasan saja, itu masih bisa diterima, tapi kalau kehidupan di negeri ini isinya melulu kekerasan, mungkin itu tidak bisa diterima…

Hingga hari ini atau mungkin juga sampai esok hari, aku masih belum bisa berpikir tentang raibnya isu kenaikan BBM yang kalau boleh jujur sangat aku tentang. Otakku mungkin masih terkontaminasi pikiran-pikiran, bahwa isu kenaikan BBM akan semakin memuncak dan mungkin bisa mencapai klimaks setelah kasus penyerangan polisi ke Kampus Unas Jakarta. Tapi, sayang itu hanya pikiranku saja dan kenyataan berkata lain.

Kenyataan memang berkata lain, saat ini isu dan berita yang lagi tren adalah penyerangan di Monas, pembubaran FPI, buronnya Munarman. Walaupun aku juga tahu suatu saat nanti, isu dan berita itu akan tergerus oleh isu dan berita lainnya yang mungkin lebih hangat dan aktual.

Dua kejadian yang menurutku cukup besar, kenaikan harga BBM dan penyerangan di Monas sedikit banyak menjadikan aku tersadar bahwa berita dan masalah boleh datang dan pergi tanpa diundang dan tak perlu ijin pergi, namun berita dan masalah itu selalu disertai oleh kekerasan dan penghinaan terhadap kemanusiaan. Tak perlu kiranya, kita kembali mengingat tragedi Mei 1998 atau kasus penculikan aktivis atau mungkin juga kasus Malari, karena itu semua hanya mengingatkan kita akan sebuah bahaya laten di negara ini, kekerasan.

Kasus penyerangan Unas oleh polisi menyadarkan kita bahwa setelah 10 tahun reformasi aparat negara masih bersikap represif terhadap rakyatnya sendiri. Serangan balik mahasiswa pascabentrokan Unas juga membuka mata kita bahwa kalangan anak muda belum dewasa dalam menghadapi tindakan represif aparat dan selalu saja kekerasan dibalas dengan kekerasan.

Ketika kasus Unas mulai dilupakan, kini malahan kekerasan secara terang-terangan malah dilakukan tanpa tedeng. Tak perlu kaget jika FPI cukup akrab dengan kekerasan. Dan kini korbannya adalah massa AKKBB di Monas. Track record FPI memang tidak perlu disanksikan lagi, mulai dari razia tempat hiburan malam, swepping majalah Playboy, kini massa AKKBB yang menurut versi FPI, massa pro Ahmadiyah menjadi korbannya.

Aku tidak kaget ketika kejadian itu terjadi karena sejak tahun 2003, Slank telah meramalkannya dalam lirik lagu Gossip JalananPernah nggak lo denger teriakan Allahhu Akbar, pake peci tapi kelakuakan barbar, ngerusakin bar, orang ditampar-tampar.” Jadi setelah lagu itu sahih dan terbukti benar di kalangan DPR, kini lagu itu terbukti lagi kebenarannya.

Semua orang mengutuk, menyalahkan dan menyudutkan FPI atas kejadian di Monas. Dan aku pikir atas dasar apapun itu, aksi penyerangan itu tetap tidak dibenarkan. Kini, semua orang berbondong-bondong meminta FPI dibubarkan. Namun, sayang aksi kekerasan FPI di Monas dan permintaan pembubaran FPII dibalas dengan kekerasan.

Ormas-ormas yang bernama Garda Bangsa atau Bela Bangsa atau apapun itu namanya, mulai melakukan swepping pengikut FPI dan memaksa pengurus FPI di daerah-daerah untuk membubarkan diri. Memang tidak ada kekerasan fisik atau adu jotos, tapi bukankah pemaksaan kehendak dengan bahasa halusnya adalah permintaan membubarkan diri jika tidak membubarkan diri maka Ormas itu akan mengambil tindakan, itu juga tetap merupakan kekerasan, kekerasan psikologis.

Yang lebih menyakitkan adalah orang-orang yang mengaku prodemokrasi, malah turut ambil bagian dalam “upaya pembubaran FPI” dengan cara-cara kekerasan, bukan cara-cara elegan dan damai. Memang mereka tidak balas memukuli orang-orang FPI, namun ucapan, omongan mereka yang menyudutkan hingga sebenar-benarnya menyudutkan terus mengisi koran, mengisi talkshow di televisi dan radio.

Aku sangat miris melihat Rizal Malarangeng yang jelas-jelas lebih pintar dari aku, juga ikut ambil bagian dalam cara-cara kekerasan itu saat membawakan program acara Save Our Nation di MetroTV. Bagaimana cara Rizal berbicara, intonasinya hingga penekanannya agar bangsa ini tidak lagi menerima orang-orang semacam anggota FPI. Belum lagi, talkshow itu hanya mengambil narasumber dari pihak-pihak yang “pro” pembubaran FPI. Jadi aku bertanya mana keberimbangannya? Siaran itu dipancarkan ke masyarakat pemirsa TV dan tanpa adanya keberimbangan dalam talkshow, itu artinya masyarakat dipaksa hanya mendengar dan mengetahui dari satu versi (versi “pro” pembubaran FPI) dan dipaksa tidak mengetahui dari versi lainnya. Apakah ini artinya pembungkaman yang sama artinya dengan kekerasan. Bukankah demokrasi mengajarkan keterbukaan dan menolak pembungkaman?

Tindakan FPI yang menyerang massa AKKBB tidak dapat dibenarkan, namun aksi yang dilakukan Ormas yang memaksakan kehendak membubarkan FPI juga tidak ada pembenarannya. Tindakan FPI yang main hakim sendiri jelas-jelas salah, namun omongan orang-orang yang katanya intelektual dan prodemokrasi yang juga main hakim sendiri membuat pernyataan juga tidak dibenarkan.

Kalau semua orang di negeri ini hanya jago bikin kekerasan dengan cara-caranya sendiri entah itu main pukul orang, pemaksaan kehendak hingga pembuatan acara di media yang tidak berimbang, mungkin memang sejarah bangsa ini dipenuhi kekerasan dan penginjak-injakan kemanusiaan. Atau mungkin saja, orang-orang di negara ini layaknya pemeran film murahan ala Hollywood yang hanya bisa menampilkan adegan kekerasan saja.