“Mbok iyao gunakanlah hak pilihmu, jadilah warga negara yang baik.Pilihanmu menentukan Jawa Tengah lima tahun ke depan lo”
Kutipan di atas merupakan perkataan dari ibuku beberapa hari yang lalu saat aku mudik ke kampung halaman di sebuah kota kecil tak jauh dari Gunung Merapi yang ada di perbatasan Jateng-Jogja. Obrolan hangat antara aku dan keluargaku malam itu memang tidak jauh-jauh dari Pilkada Jawa Tengah yang bakal digelar 22 Juni mendatang. Pilkada memang menjadi topik utama masyarakat Jateng akhir-akhir ini karena konon kabarnya sangat bersejarah bagi warga Jateng karena untuk pertama kali dalam sejarah berdirinya provinsi ini, masyarakat Jateng bakal memiliki kesempatan memilih gubernur dan wakilnya secara langsung.
Ibuku menanyakan apakah aku akan ikut coblosan 22 Juni besok dan dengan enteng saja aku jawab tidak. Dan, ibuku pun menjawabnya seperti kutipan di atas. Jawaban ibuku itu, aku balas senyuman saja. Aku tidak ingin memperdebatkan perkataan orangtuaku mengenai warga negara yang baik sama artinya warga yang menggunakan hak pilihnya saat ada Pemilu, entah itu Pemilu legislatif, Pilpres atau Pilkada.
Aku tidak ingin mempersoalkan, padangan orang-orang atau kelompok yang menilai warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah warga negara yang tidak baik karena tidak menggunakan haknya. Aku hanya menilai jika pemikiran bahwa warga negara yang menggunakan hak pilihnya sama artinya dengan warga negara yang baik adalah mitos yang sengaja diciptakan Orde Baru dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara.
Pilihanku untuk tidak memilih dalam Pilkada mendatang, aku dasari pada kenyataan bahwa aku tidak lagi memiliki kepercayaan pada mereka lima pasangan calon gubernur dan wakilnya yang maju dalam Pilkada. Aku tidak lagi memiliki dasar untuk memilih salah satu pasangan dan artinya mengesampingkan empat pasangan lainnya. Aku tidak memiliki alasan mengapa aku harus memilih salah satu pasangan entah itu Bambang-Adnan, Agus-Kholiq, Sukawi-Sudharto, Bibit-Rustri atau Tamzil-Rozaq.
Benar-benar aku tidak memiliki alasan untuk memilih salah satu dari mereka. Jadi apakah aku harus memaksakan diri agar memiliki alasan untuk memilih mereka. Bukanlah pilihan politik juga harus didasari juga atas alasan pemilihan itu sendiri? Memang aku pernah melihat dan mendengarkan visi dan misi lima calon itu dalam siaran TV, namun apa yang aku tangkap visi dan misi itu hanya janji-janji yang entah dalam kenyataan bisa direalisasikan atau tidak.
Aku telah memantapkan hati untuk tidak memilih dalam Pilkada kali ini seperti apa yang pernah aku lakukan dalam Pilpres 2004 lalu. Dan jangan disalahartikan jika aku mengajak untuk tidak memilih alias Golput. Jika memang warga Jateng yang memiliki hak pilih memiliki alasan untuk memilih salah satu calonnya, maka bersuka citalah untuk menyambut hari bahagia 22 Juni dengan mendatangi TPS terdekat, karena memilih adalah hak dan tidak memilih juga bagian dari hak yang sama-sama tidak bisa dipaksakan. Kadang sedih rasanya jika melihat ada orang yang ingin memilih tapi akhirnya tidak bisa memilih dan akhirnya dianggap Golput karena tidak terdaftar atau kurangnya logistik Pilkada atau alasan teknis lainnya. Aku pikir Golput yang baik adalah mereka Golput karena benar-benar memiliki alasan untuk tidak memilih atau kalau boleh aku istilahkan Golput berkesadaran.
Jangan salahkan pula jika akhir-akhir ini angka Golput dibeberapa Pilkada trennya mengalami kenaikan. Bukan karena aku mengkampanyekan Golput, sama sekali bukan karena aku tidak memiliki kekuatan sehebat itu hingga aku bisa membujuk rayu jutaan orang untuk Golput. Aku pikir, naiknya angka Golput lebih pada semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap politik dan segala prosesnya. Masyarakat mungkin berpikir singkat, siapapun yang terpilih, toh hidup masih susah. Masyarakat sudah semakin muak dengan politik dan segala perilaku politikus yang memang sangat memuakkan.
Jika para politikus menyoroti banyaknya angka Golput, bukankah mereka para politikus harus berkaca pada perilaku mereka selama ini, apakah mereka benar-benar sudah mengobarkan perjuangan untuk rakyat atau malah hanya berpikir untuk diri sendiri dan kelompoknya. Kalau ternyata mereka belum juga memperjuangkan kepentingan rakyat, janganlah skpetis terhadap Golput dan menyalahkan orang yang memilih untuk tidak memilih. Alangkah baiknya mereka memperbaiki perilakunya sendiri untuk kembali merebut hati masyarakat.
Dan kalaupun pada akhirnya mereka para politikus tetap skeptis terhadap Golput dan tidak mau merubah perilakunya, aku pikir politik dan politikus memang teramat sangat memuakkan.