Bukan Warung Kopi ala Andrea Hirata

Novel Cinta Dalam Gelas karya Andrea Hirata banyak bercerita tentang seluk-beluk warung kopi di Belitong. Andrea begitu detailnya menggambarkan sosok-sosok manusia Belitong yang begitu dekatnya dengan kopi. Pilihan, cara mengaduk hingga cara meminum menunjukkan siapa peminum kopi itu.

Itulah kopi yang pada akhirnya menunjukkan sifat-sifat dasar manusia. Kopi seakan menjadi cerminan diri peminumnya. Dari kopi, manusia seakan membuka aib, menguak rahasia diri.

Di sebuah warung kopi di pinggiran Jogja, ditemani syahdu dan merdunya lagu-lagu akustik, puluhan manusia menenggak kopi dengan caranya masing-masing. Ada yang pilih menyeruput kopi yang masih panas, ada yang pilih mencucupnya tipis-tipis ada pula yang memilih menantinya agar sedikit dingin. Ada yang meminum kopi sambil ngobrol, ada yang sambil melamun, sambil diskusi, sambil internetan dan sambil pacaran (tentunya).

Dan ternyata sensasi kopi hanya menjadi sensasi sambilan? Kopi seakan menjadi pelengkap ngobrol, teman melamun, buih-buih diskusi, dan kopi tetap setia menemani orang yang sedang dimabuk asmara. Sebegitu tersisihkah peran kopi dalam sebuah warung kopi. Bukankah seharusnya kopi menjadi penguasa di wilayah bernama warung kopi.

Inilah warung kopi zaman kini. Warung kopi tak hanya urusan soal rasa pahit dari kopi tapi warung kopi juga urusan gaya hidup. Bagi para kopiers (penggila kopi fanatik), warung kopi seperti itu terkesan melecehkan esensi kopi sesungguhnya.

Tak ada yang salah bagi mereka mendudukan kopi hanya sebagai pelengkap dalam menghabiskan gelapnya malam. Tak ada yang salah juga bagi mereka yang bersikukuh menyakralkan kopi pada posisi yang agung. Intinya sama-sama ngopi. Sudahkah anda minum kopi malam ini?


KA Humas PT KA Daops VI: Seli boleh naik Prameks!

Harian Umum SOLOPOS edisi 1 November 2011

Melanjutkan cerita sebelumnya soal sepeda lipat (Seli) yang kena bea bagasi kereta api (KA) terutama untuk KA Prambanan Ekspress (Prameks) jurusan Solo-Jogja (klik di sini) ternyata ada aturan baru belum tersosialisasi. Bahkan, petugas KA masih sering  mengacu pada aturan lama.
Adanya aturan baru bagi sepeda di KA dipaparkan Kepala Humas PT KA Daops VI Yogyakarta, Eko Budiyanto (Harian Umum SOLOPOS, edisi 1 November 2011).
Eko mengatakan aturan baru Nomor YM/82 tertanggal 28 Oktober 2011 mengeliminasi aturan lama Nomor YM/74 tertanggal 26 Oktober 2011. Aturan baru itu pada intinya adalah melarang sepeda masuk KA Prameks. Namun larangan itu tidak berlaku untuk Seli. Sepeda lipat tetap diperbolehkan masuk Prameks dengan syarat beratnya dibawah 20 kg dan dimensinya tak boleh lebih 1 m2.
Sedangkan aturan lama memperbolehkan sepeda masuk Prameks dengan membayar dua kali lipat harga tiket (tiket Prameks Rp 10.000), seperti pengalaman saya akhir pekan lalu.
Adanya aturan baru ini menjadi pencerahan bagi pengguna Seli, namun tidak bagi pengguna sepeda pada umumnya (nonlipat). Kalau bicara pada tataran ideal, tentunya asyiknya ada gerbong KA khusus sepeda. Tapi yang paling penting adalah aturan itu disosialisasikan jangan sampai petugas KA tak tahu aturan baru itu. Kalau perlu difotokopi dipasang di stasiun-stasiun KA.


Sepeda Lipat Kena Bea Bagasi KA?

Sabtu (29/10) pagi, Stasiun Purwosari Solo masih lengang. Jam di tangan baru menunjukkan pukul 05.27 WIB. Masih ada waktu beberapa menit sebelum KA Prambanan Ekspress (Prameks) pertama meluncur.

Ada perasaan sedikit waswas ketika menuju loket pembelian tiket setelah beberapa pekan lalu harus beradu argumen dengan petugas bagian tiket karena saya membawa sepeda lipat (Seli). Seli yang tentunya sudah saya lipat-lipat, saya angkut dan saya letakkan tak jauh dari bagian tiket. Helm sepeda tetap saya kenakan.

Tanpa ada respons yang aneh-aneh, pagi itu petugas tiket langsung memberi tiket KA Prameks yang bakal melaju pukul 05.42 WIB dari Purwosari menuju Jogja. Perlakuan ini berbeda dengan petugas tiket yang saya temui beberapa pekan lalu. Kala itu, saya sempat ditanya apakah saya membawa Seli dan dia sempat menolak memberikan tiket karena saya membawa Seli. Argumen saya hanya klasula baku yang tercantum dalam tiket KA Prameks yaitu ”Penumpang membawa barang bawaan lebih dari 20 kg atau barang ringan makan tempat (RMT) dikenakan bea bagasi sesuai aturan yang berlaku.”

Saya sempat ”ceramah” kalau Seli beratnya tak lebih dari 10 kg dan ukurannya seukuran dengan koper besar yang selama ini tak pernah kena bea bagasi. Ketika itu, petugas tiket pun akhirnya meloloskan saya dan memperbolehkan saya menaiki KA Prameks.

Pagi itu, perasaan waswas yang sempat berkecamuk seketika sirna ketika petugas KA langsung meloloskan saya tanpa perlu debat dan adu argumen. Tak berapa lama berselang, KA Prameks pun tiba dan di gerbong kedua saya mendapat tempat duduk. Seperti biasa, Seli punya ”pos” sendiri yaitu di dekat pintu masuk kereta.

Kereta melaju dan ketika KA melintas Stasiun Gawok, kondektur yang selalu didampingi satpam berkeliling menarik tiket. Tiket disodorkan dan diberi tanda lubang, seperti biasanya. Kebetulan saat itu satpam yang mengecek tiket saya. Tiba-tiba saja, kondektur perempuan mengamati dengan seksama Seli yang nangkring di pojokan pintu kereta. Dia tengak-tengok sepertinya mencari empunya sepeda itu. Dari helm yang masih saya kenakan, kondektur itu bisa mengidentifikasi bahwa sayalah empunya Seli warna kuning itu.

Sang kondektur pun mengecek tiket saya dan karena tidak ada kejanggalan, dia pun menyatakan Seli kena bea bagasi sebesar dua kali harga tiket. Saya pun kaget dengan pernyataan itu. Dua kali harga tiket Prameks artinya Rp 20.000. Mesin otomatis dalam otak langsung berpikir, artinya kalau saya naik Prameks maka harus mengeluarkan Rp 30.000 (tiket Rp 10.000 plus bea bagasi Rp 20.000).

Saya tidak langsung mengiyakan apa yang dikatakan sang kondektur itu, namun saya mempertanyakan aturan Seli kena bea bagasi karena dalam klasula baku yang dibuat PT KA, hanya barang 20 kg dan barang RMT yang kena bea bagasi. Kondektur itu pun mengatakan adanya aturan baru yang berlaku mulai 1 Oktober 2011 yaitu Seli kena bea bagasi sebesar dua kali harga tiket.

Saya pun bertanya kepada kondektur, ”Boleh saya lihat surat edaran itu,” tanya saya. Kondektur pun mengatakan tidak membawa dan mengatakan seharusnya saat saya membeli tiket, saya melapor kalau saya membawa Seli. Secara naluri saya bertanya lagi, ”Aturannya sudah disosialisasikan belum? Di tempel di bagian loket-loket? Saya tidak ditanyakan saya bawa Seli atau tidak padahal saya masuk stasiun dan tentunya membawa Seli lewat depat loket yang ada penjaganya. Mereka diam saja,” kata saya.

Sang kondektur tetap ”berceramah” bahwa saya salah karena tidak melapor ke bagian tiket dan seharusnya saya kena bea bagasi. Bukan saya menolak aturan itu tapi aturan baru itu belum tersosialisasi (buktinya di beberapa stasiun aturan Seli kena bea bagasi tak dipasang) dan yang lebih penting aturan itu bertentangan dengan klasula baku yang tercantum di bagian belakang lembaran tiket. Hal itulah yang membuat saya tetap bersikukuh, Seli tak kena bea bagasi. Setelah berdebat agak lama, kondektur pun mengingatkan ke depannya saya harus bayar bea bagasi dan dia pun berlalu.

Entah atas dasar apa aturan itu diberlakukan. Kalau adanya Seli membuat tidak nyaman penumpang lain, apakah sudah ada penelitian soal itu? Kalau Seli makan tempat, bagaimana dengan barang bawaan lain yang ukurannya sebesar Seli? Kalau pun aturan itu diberlakukan seharusnya klasula baku yang tercantum dalam tiket juga harus diubah. Bagi saya, aturan ini adalah bentuk kemunduran PT KA. PT KA tidak lagi mendukung mobilitas warga yang sehat dan aman.


Virus Homo Jakartensis

Aku benar-benar pangling dengan kawan lamaku. Mungkin karena lama tak bersua, mungkin daya ingatku lemah atau mungkin karena penampilan kawanku ini berubah total.

Dua tahun lalu, aku mengenal kawanku sebagai sosok yang lugu, kalem dan pendiam. Gaya bicaranya halus dan suka berpakaian rapi. Saking rapinya, entah kemeja, t-shirt ataupun kaus oblong selalu dimasukkan. Celana andalannya adalah kain halus. Saking seringnya diseterika, sampai-sampai, ada garis lurus di bagian depan celana yang membujur dari atas sampai bawah.

Senyum tipisnya sampai kini tak berubah. Senyum tipis itu pulalah yang membuatku mengenali sosok kawanku itu. Selebihnya, penampilannya berubah total. Kaus oblong yang dikenakan sedikit junkies, celana jeans ketat gaya pensil. sepatu ket merek Converse warna hitam. Aku tersenyum simpul melihat perubahan penampilan kawanku itu.

Senyumku mengembang menjadi tawa kala dia menyapaku “Sori jack nunggu lama ya. Biasa kena macet. Yuk kita berangkat, mampir di rumah gue dulua ya.”

Rupanya kawanku ini sudah berubah. Sosok kawanku yang lugu pendiam dengan gaya pakaian yang terkesan culun tinggallah kenangan. Kini dia menjelma menjadi sosok anak muda yang aku yakini gaya berpakaiannya bakal menjadi trendsetter di kampungku.

Kalau melihat kawanku itu aku tertawa ringan, maka saat melihat Inah, tetanggaku yang baru saja mudik dari Jakarta bisa membuatku tertawa terbahak-bahak. Kemarin, aku bertemu dengannya di sebelah langgar kampung. Sudah dua hari dia datang kembali di kampung halaman. Waktu itu dia baru pulang dari pasar. Aku benar-benar dibuat pangling. Pakaiannya warna pink, celana panjangnya warna biru dan dia menggunakan bandana warna ungu. Ngejreng. Belum lagi bedak tebal yang menutupi wajahnya. Sungguh berbeda dengan Inah yang dulu masih kecil dan pemalu.

Kawanku dan Inah, tetanggaku itu rupanya sudah terkena virus Homo Jakartensis. Seno Gumira Ajidarma menyebut Homo Jakartensis adalah sosok orang-orang Jakarta dengan atribut bernama sukses yang melekat di dalamnya. Bukan salah kawanku ataupun Inah kalau mereka menjadi Homo Jakartensis. Mereka tak pernah salah karena keadaan memaksa mereka. Mereka dipaksa menjadi Homo Jakartensis atau mereka tersisih dari pusaran kehidupan. Menjadi Homo Jakartensis bukan lagi sebuah pilihan tapi keharusan, apalagi saat Lebaran.

Mereka para Homo Jakartensis dipaksa harus tampil sempurna ketika tiba di kampung halaman, diharuskan terlihat “wow”, “wah” dan “ngetren”. Pada intinya mereka dipaksa terlihat sukses setiba di kampung halaman. Ya, mereka para Homo Jakartensis harus tampak sukses saat Lebaran kalau tidak ingin mendapat cibiran, mereka harus terkesan sukses kalau tidak ingin dikatakan gagal. Apakah mereka para Homo Jakartensis itu benar-benar sukses ataupun pura-pura sukses, hanya mereka yang tahu. Dan sebentar lagi semakin banyak para Homo Jakartensis yang bakal aku temui. Semoga mereka benar-benar sukses.


(Masih) ada sastra di antara kita

Photo by Warung Ngopi Bjong

Aku duduk sendiri di tengah riuh rendah keramaian warung kopi. Itulah dunia warung kopi. Dunia di mana berbagai macam dunia berkumpul dan bergumul menjadi satu. Hanya kopilah yang menyatukan dunia mereka.

Di sebelah kananku, deretan manusia peselancar dunia maya asyik dengan laptopnya masing-masing. Mereka teralienasi dari dunia mereka berada. Jangan salahkan mereka, toh pemilik warung kopilah yang menyediakan fasilitas hotspot kepada mereka. Di belakangku, kumpulan pemuda ramai berbicara. Entah apa yang mereka perbincangkan. Ada gelak tawa dan canda di antara mereka. Dan warung kopilah yang mempersatukan mereka dalam tawa.

Di ujung utara sana, samar-samar terlihat para manusia membentuk lingkaran menghabiskan waktu dengan barmain kartu. Tenang saja, itu bukan judi karena memang mereka hanya ingin melewatkan malam dengan sedikit kegembiraan dari lembaran-lembaran kartu yang disediakan sang empu warung kopi itu. Agak jauh dari tempat dudukku, kumpulan manusia berbicara serius seperti sedang berada di dalam gedung tempat adu debat. Dahi mengkerut tanpa canda apalagi tawa. Tapi itu juga bukan dosa karena bicara soal politik tak melulu di seminar-seminar ataupun di tepi jalan sambil membawa poster hujatan.

Di antara keramaian warung kopi malam itu, di tengah warung kopi, anak-anak muda silih berganti naik panggung yang dibangun ala kadarnya. Ada yang bercerita tentang Jogja lewat puisi indah mereka, ada yang bercerita tentang Jakarta dengan menukil karya Seno Gumira Ajidarma. Semuanya bercerita dan berkata-kata sastra.

Malam itu mereka membumikan sastra kepada kami semua pengunjung warung kopi. Mereka membawa sastra yang bagi sebagian orang adalah dunia antah berantah ke dalam sebuah ruang sosialisasi bernama warung kopi. Mereka melucuti kesakralan kata sastra. Ada yang memperhatikan dengan seksama, ada yang menengok mereka kala teriakan sajak-sajak semakin menggema ada pula yang tetap membisu tanpa kata. Tapi riuh rendah tepuk tangan sebagai tanda apresiasi tak pernah sepi meski kadang aku dan mungkin sebagian pengunjung lainnya tak begitu memahami apa yang ditampilkan di panggung mini itu.

Itulah dunia warung kopi yang aku temui malam itu. Dunia dengan berjuta dunia di dalamnya. Dunia yang memberikan ruang ekspresi kepada setiap para pengunjungnya. Dan malam itu, dunia warung kopi tak hanya dunia obrolan, dunia berselancar, dunia kartu remi tapi juga dunia sastra karena memang masih ada sastra di antara kita.


Memoar Mei

Akhir Mei lima tahun lalu. Lima bulan sebelumnya aku menandatangani kontak kerja. Sebuah awal yang akhirnya membawaku dalam kehidupan saat ini. Kehidupan tentang fakta dan berita. Dan ini adalah memoar tentang fakta dan berita Mei lima tahun lalu.

Aku belum sepenuhnya terjaga. Masih setengah tersadar dari tidur, yang terasa ada guncangan hebat di sekelilingku. Beberapa detik terbengong-bengong di kasur merasakan guncangan itu hingga pada akhirnya baru sepenuhnya sadar ada gempa besar. Respons yang sangat terlambat. Terbangun, terhuyung-huyung untuk membuka pintu kamar kos. Yang aku lihat kepanikan teman-teman kos. Semua berlari menuju luar kos. Satu teman terjatuh tepat di depanku dan aku langsung meloncatinya. Di luar sana, orang-orang tiarap di tengah jalanan. Semua hanya peduli dengan keselamatannya masing-masing.

Guncangan hebat itu sudah mereda. Tapi kekagetan belum hilang. Semua begitu cepat dan hebat. Semua mata memandang ke utara. Tempat Gunung Merapi kokoh berdiri. Di sudut pinggiran Jogja, Merapi terlihat jelas. Awan tebal terlihat menggulung-gulung dari gunung itu. ”Merapi…Merapi.”

Seribu tanya belum terjawab. Otak belum bisa berpikir jernih untuk memaknai kejadian itu. Dering Ponsel terdengar. Dari bunda, dari bosku. Bunda menanyakan kondisiku. Bosku mengabarkan ada orang yang tertimpa bangunan karena gempa. Berlari ke kamar mandi. Mandi tanpa mengunci pintu. Meninggalkan Jogja menuju Klaten. Aku masih belum bisa memaknai kejadian itu. Yang terlihat hanya orang-orang berkumpul di tepi jalan. Di utara Jogja bangunan masih banyak yang utuh. Masuk Prambanan, kengerian hari itu mulai terasa. Di tepi-tepi jalan, bangunan hancur lebur. Orang-orang hanya terdiam tanpa kata.

Kamera, blocknote, pulpen, keluar-masuk tas ransel. Meninggalkan jalan utama Jogja-Solo, masuk ke perkampungan, kengerian semakin terasa. Ketakutan, kekalutan dan pacuan adrenalin bercampur menjadi satu. Orang-orang masih terdiam tanpa asa. Di sebuah klinik kecil, suasana lebih mengerikan. Orang-orang mengobati lukanya sendiri. Perawat, dokter dan paramedis entah ke mana.

Kembali ke jalur utama, kepanikan melanda. Tsunami dari selatan. Otak semakin tidak bisa berpikir jernih. Bingung, agak panik tapi naluri mencari fakta masih menggelora. Sudah dua jam lebih goncangan hebat itu melanda dan aku belum bisa memaknai kejadian itu. Aku pergi ke pusat kota. Rumah sakit utama penuh sesak.

Ada mayat, ada orang luka. Selasar, halaman, parkiran penuh sesak. Raungan sirene terdengar tanpa henti. Aku sudah muak dengan suara itu. Semakin membuatku tak bisa berpikir jernih. Menambah kepanikan. Aku bertanya, sebagian mayat dan pasien itu berasal dari Kecamatan Gantiwarno. Naluriku membawaku memacu motorku menuju daerah itu.

Ada rasa ngeri, takut, penasaran dan kekalutan. Di kecamatan yang ada di pinggiran yang terlihat hanya bangunan runtuh, nyaris tak ada yang utuh. Orang masih berkumpul di tepi-tepi jalan. Ada mayat-mayat yang dijejer. Di sekitar permakaman, orang berkumpul, mencoba memberikan penghormatan selayaknya bagi mereka yang tutup usia. Duka ada di mana-mana, tangis terdengar merata. Semuanya semakin nyata. Guncangan hebat pagi itu memberikan dampak yang luar biasa. Dari puluhan, ratusan hingga akhirnya tercatat ada ribuan orang meninggal. Hingga kini, lima tahun berlalu, duka dan lara itu masih tersisa.


Sepeda-sepeda di kantorku

Tujuh bulan silam ketika hati mulai memantapkan diri untuk mulai bersepeda ke tempat kerja (istilah kerennya bike to work), sepeda menjadi alat transportasi minoritas di lokasi parkir. Tujuh bulan sudah berlalu, sepeda masih menjadi alat transportasi minoritas yang mangkal di lokasi parkir khusus karyawan sebuah koran lokal di Solo.

Sudah biasa, sepeda harus berhimpit-himpitan dengan sepeda motor. Sudah menjadi pemakluman sepeda diangkat, dipindah tempat parkirnya untuk memberi ruang kepada sepeda motor yang berjejalan. Itu semua bisa dimaklumi karena jumlah sepeda yang sering mangkal di lokasi parkir bisa dihitung dengan jari (bukan prioritas utama punya lokasi parkir khusus hehehe).

Meski jumlah sepeda masih bisa dihitung dengan jari tangan saja tapi dua bulan terakhir ini sepeda yang sering mangkal di parkiran terus bertambah. Ada sepedaku yang sudah punya pangkalan di depan musala. Ada juga sepeda mini milik Mbak Netty dari Bagian Pusdok & Litbang yang lokasi parkirnya pindah-pindah. Sepeda Wimcycle 24 milik Bangli dari radio juga sering terlihat di parkiran. Belum lagi dua sepeda butut, entah milik siapa, sering ngepos di ujung parkiran (entah sudah berapa lama di tempat itu).

Kadang kala MTB Wimcycle putih (bekas milikku hehehe) yang kini dibawa Mas Faul juga sesekali nongol di parkiran. Atau sesekali sepeda lipat (Seli) milik Ahmad Hartanto dan Farid Syafrodhi, tiba-tiba unjuk gigi di parkiran pada malam hari. Beberapa hari terakhir ada dua sepeda baru yang sering nongol, Seli B2W miliknya Mbak Susi (yang katanya ingin mengurangi berat badan dengan bersepeda) dan Polygon Extrada 5.0 (entah milik siapa).

Kalau semua sepeda itu nongol di parkiran, jumlahnya masih minoritas dibandingkan jumlah motor yang mencapai ratusan. Motor memang masih menjadi pilihan utama para pekerja untuk berangkat kerja meski sebenarnya sebagian dari mereka tertarik atau paling tidak punya keinginan untuk bersepeda ke kantor. Ada yang punya kendala karena jarak rumah-kantor terlalu jauh. Ada juga karena tuntutan kerja (membayangkan liputan cari berita dengan sepeda hehehe), ada juga yang males ribet mandi di kantor setelah berkeringat bersepeda.

Kini sepeda menjadi minoritas di parkiran tapi siapa tahu suatu saat nanti bisa menjadi mayoritas di parkiran karena sepeda bukan sekadar olahraga. Sepeda dan bersepeda juga sebuah sikap nyata untuk hari esok bumi (sok idealis hehehe). Mari bersepeda!!!