Tan Malaka dan operanya

Kontroversial. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan Bapak Revolusi Indonesia, Tan Malaka. Kontroversi memang selalu menyelimuti setiap liku laki-laki kelahiran Suliki ini. Mulai dari perpecahannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Komunis Internasional (Komintern), petualangannya ke berbagai negara karena diburu intel hingga kematiannya yang masih misterius. Kini, kontroversi kembali menyeruak, Opera Tan Malaka dilarang disiarkan di TV lokal  di sejumlah daerah oleh aparat negara.

Melihat dengan mata kepalanya sendiri, Tan Malaka begitu berduka saudara-saudaranya sebangsa ditindas di perkebunan di Sumatra. Kenyataan di perkebunan itu membuat hatinya berontak dan datang ke pusat pergolakan perjuangan bangsa, Jawa. Dia pun bergabung dengan tokoh-tokoh PKI untuk mengkoordinasi buruh-buruh. Tak hanya itu, Tan Malaka juga mendirikan sekolah-sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sang Penjajah Belanda yang khawatir dengan kegiatan Tan Malaka akhirnya menangkap dan membuangnya.

Tan Malaka pun memulai operanya di Belanda saat pembuangan. Beberapa kali bergabung dengan Komintern, dia ditunjuk sebagai Pimpinan Komunis Asia Tenggara. Namun, hubungannya dengan PKI dan Komintern pecah setelah PKI berniat memberontak 1927. Partai Republik Indonesia (Pari) didirikannya sebagai alat perjuangan. Puluhan tahun Tan Malaka berpetualang ke berbagai negara menghindari kejaran intel. Baru menjelang kemerdekaan bangsa ini, Tan Malaka bisa masuk Indonesia.

Setelah kemerdekaan, Tan Malaka berhubungan dengan tokoh-tokoh perjuangan mulai dari Soekarno hingga Jenderal Soedirman. Sikap kerasnya dan tak mau kompromi dengan penjajahan akhirnya mengantarkannya ke ujung maut oleh sesama anak bangsa. Kematiannya masih penuh misteri. Ada yang menyebutnya dia ditembak dan dibuang ke Kali Brantas. Namun, peneliti Belanda, Harry A Poeze menduga Tan Malaka dimakamkan di Semen, Kediri. Hingga kini, teka-teki kematiannya pun belum terungkap.

Kini, kala sejumlah TV lokal hendak menayangkan Opera Tan Malaka, mereka yang dikenal dengan aparat negara melarang penayangan opera yang mengawinkan antara musik dan sastra itu. Rupanya bangsa ini masih belum benar-benar belajar dari sejarah. Segala sesuatu yang berbau PKI adalah haram hukumnya. Anak-anak muda bangsa ini dipaksa untuk tidak mengenal Tan Malaka yang sebenarnya sudah menyandang gelar pahlawan nasional. Bangsa ini terlalu berpikiran kerdil ketika tokoh yang bisa menginspirasi anak-anak muda tentang totalitas perjuangan dan nasionalisme selalu diasingkan dari rakyatnya.

Bangsa ini tak boleh lupa, Tan Malaka memang seorang komunis, namun juga nasionalis sejati. Mereka para aparat negara tak boleh lupa, proklamator bangsa ini, Soekarno selalu menenteng buku Aksi Massa karya Tan Malaka untuk menggerakkan semangat rakyat menjelang kemerdekaan. Anak-anak muda yang memaksa Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan juga “dikompori” Tan Malaka. Soekarno pun sudah menyerahkan mandat kepada Tan Malaka dan tiga orang lainnya untuk memimpin bangsa ini jika suatu ketika Soekarno menghadapi masalah.

Kita selalu mendengungkan diri sebagai bangsa yang besar karena menghargai perjuangan para pendiri bangsa ini. Namun, negara lewat aparat-aparatnya telah melarang rakyatnya untuk menonton sepenggal kisah tentang pahlawan nasional itu. Benarkan kita bangsa yang besar?

 

About angscript

Aku hanyalah jurnalis kecil yang bekerja di media kecil di sebuah kota kecil dan menghadapi masalah-masalah kecil dan orang-orang kecil. Tulisan ini hanyalah tentang hal-hal kecil agar aku bisa belajar berkata-kata, saat kata belum terbungkam dan kata masih bisa menjadi senjata. Jangan dianggap serius!!! Lihat semua pos milik angscript

2 responses to “Tan Malaka dan operanya

Tinggalkan komentar